HIDAYAH YANG TERBENDUNG
oleh : Drs. Muhyiddin Pardi
Sudah menjadi kebiasaan sang guru mengaji berkeliling dari tiyuh ke
tiyuh lain, dengan kacamata minus
mengendarai sepeda tua yang nyaman ia gunakan. Dengan penuh semangat dan harapan
ia jalani tugas itu bertahun-tahun tanpa mengenal lelah sedikitpun. Lembah dan
ngarai, jalan terjal dan berlumpur terkadang ia lewati dengan sabar, terkadang
pula ia telusuri bukit kecil dan perkebunan hal yang biasa, sesekali ia berucap
dengan kalimat yang menakjubkan. Ketika lelah menghampirinya ia sandarkan sepeda tuanya ditepi perkebunan
yang agak rimbun dekat bukit kecil yang konon ada sejarah unik di tempat itu.
Ia hanya menatap sesekali bukit itu tanpa harus menguras pikiran untuk
merenungkan apa karomah bukit itu. Yang jelas ia percaya di Tulang Bawang Barat
banyak kisah unik pada zaman sejarah maupun prasejarah, sang guru mengaji cukup
senang dan merasa nikmat dan nyaman tinggal di daerah tersebut, penduduk yang
hetrogen dengan pendatang dari berbagai pelosok tanah air tidak mengusuik ketenagannya
bahkan ia cukup bangga dengan kehadiran saudara saudara nya, terkadang ia
bertukar fikir dan pengalaman dari segala sisi, sehingga ada peradaban baru.
Saat ia istirrahat sejenak ia lihat seorang paruh baya bersandar di
sebuah pohon tatkala dhuha menjelang, sambil menghela nafas panjang dengan
tatapan mata yang kosong kearah yang tiada batas. Terkadang ia sentuh kerikil
kecil sambil ia lemparkan di bagian tepi
rawa yang agak terlihat keruh. Sang guru tidak tahu apa yang terbesit dan yang
dipikirkannya, sepertinya ia cemas dengan dirinya dan lingkungan yang ia
hadapi. Mentaripun mulai bergeser hingga terasa panas menyengat tubuh yang
terlihat kusut tanpa harapan hidup yang menentu. Sejenak kemudian ia berdiri
sambil membawa kayu kecil ia pukulkan pada dahan-dahan kecil sekitarnya. Tak
lama kemudian sampailah ia pada sebuah gubuk kecil yang terbuat dari kayu gelam
dan bambu yang beratapkan ilalang yang mulai tampak rapuh. Mungkin gubuk itu cukup
berusia dan agak kurang terawat. Di
depan gubuk tua itu tampaklah kayu bulat yang terpotong pendek sepertinya sudah
dipersiapkan sebelumnya hingga si tua
itu merebahkan badannya dengan menyandarkan kepalanya di bawah pohon yang
rimbun untuk menutupi sengatan sinar matahari .
terkadang ditutup matanya dengan tangan yang agak kurus sepertinya terasa kantukpun tiba sehingga ia tak mampu
lagi menahannya. mimpi panjangpun berlalu karena tertidur lelap seperti tanpa beban saat berbaring di atas pelepah
daun kelapa kering itu, dengan beralasankan kayu yang mengganjal di kepalanya. Saat
terbangun ia gerakaan sebagian organ tubuhnya sambil menoleh ke kanan dan
kekiri terkadang menengadah ke atas menatap matahri yang mulai menyingsing. Di
samping gubuk tampak seperti bergantung sesuatu, mungkin itu adalah bingkisan
yang dipersiapkan oleh istrinya untuk bekal di kebun seharian. Sang guru ngaji
seusai ia jalani sholat dhuhur dekat kampung itu ia kembali dan ia
memperhatikan terus apa yang dilakukan si tua tadi, akan tetapi ia tidak tahu
dengan pasti keadaan hatinya yang sebenarnya nampak sekali dari raut wajahnya
terasa cemas dan hilang asa yang tak berkesudahan, padahal tatkala dhuhur tiba
tak sedikitpun tergugah hatinya untuk segera mengambil air wudhu mensucikan
hatinya yang kotor melalui organ tubuhnya mulai rapuh itu.
Saat senja mulai tiba bergegaslah ia untuk meninggalkan lahan yang
ia tunggu, tak mengenal lelah dan letih selayaknya para petani, tetap jalan
dengan harapan yang kurang pasti atau lainya,
yang jelas belum tercapai apa
yang menjadi maksudnya selama ini. Sebilah sabit di tangan kiri dan cangkul
berada dipundaknya mengiringi perjalanan yang tidak jauh dari rumah nya. Di
celah-celah perkebunan ada jalan setapak panjang menuju kampungnya, itulah
jalan yang ia lalui setiap harinya, sehingga banyak orang mengenal bahkan tak
satupun yang dilaluinya itu tak mengenalnya, akan tetapi setiap orang yang
dilaluinya hanya melihat ada yang menaruh belas kasihan, berbagai ekpresi
teruangkap dari raut wajah penduduk di kampung bahkan ada yang tidak memberikan
perhatian terkesan membiarkan ia berlalu begitu saja. Subhanalloh ternyata ia
tinggal disebuah rumah ya mungkin yang paling besar diantara rumah-rumah tetangga
yang mengitarinya. Ketika sang guru mengaji hendak pulang ia cari tahu keadaan
si petani tadi, sambil ia menuju pulang, tampak jelas alamat yang ditujusSaat
itulah ia berfikir apa yang di cari dari dirinya yang selama ini memaksakan
hidup untuk mengais rizki itu. Sesampai di depan rumah tampak dua pemuda yang
sedang asyik membersihkan kendaraan. Kebetulan sang guru hampir bersamaan
dengan datangnya sang petani petani, begitu ia lihat tanpa menggubris bahwa
ayahnya telah datang dari peladangan. Anehnya lagi anak yang sepertinya sudah
dewasa itu itu tidak sedikitpun menoleh ke orang tuanya apalagi menyapanya. Ada
yang salah mungkin dari ini semuanya, akan tetapi belum tahu dengan pasti
penyebab itu semua.
Terdengar
sayup-sayup di tengah desa suara kalam dari menara
masjid, sementara kedua remaja putra situa tadi belum beranjak dari
tempat ia
membersihkan kendaraannya, sepertinya sangat asyik dengan pekerjaan itu.
Terkadang nampak wajah seorang ibu keluar dari baik pintu sambil melihat
kedua
anaknya namun tak sedikitipun kata keluar dari kedua bibir nya bahkan
terkesan
mendiamkannya tanpa beban sedikitpun yang ada pada dirinya. Kumandang
magrib
pun tiba, masya Alloh sepertinya tidak sedikitpun tertarik hatinya
dengan suara
yang memanggilnya , padahal kalam itu berawal dengan Allohu akbar….Alloh
Maha
Besar. Haripun berlalu keadaan pun berubah dan suasana mulai nampak
berbeda,
pak tua yang biasa berangkat menelusuri lorong-lorong pedesaan tak
tampak lagi,
sehingga orang di sekitar kampung selalu bertanya, kemana pada Dullah
ini …..?
oh ternyata ia bernama paka Dullah. mulailah sang guru ngaji mengerti
siapa nama orang tua itu. Di lain
tempat ada yang mengumbar suara agak
sinis “ Apa udah mati Dullah itu ? sang
guru tak mengerti mengapa tak satupun
yang berkata baik masyarakat di kampung itu. Tetapi yang jelas
menurutnya ada
sifat yang kurang mulya sehingga semua berkomentar yang tak sedap
dirasa. Dosa
rasanya jika aku cari tahu tentang dirinya” guman sang gur dalam
hatinya, akan
tetapi ia jadi penasaran jika tak
mengetahui penyebab kebencian masyarakat pada keluarga itu. Tak lama ia
cari tahuy
ternyata pak Dullah sakit karas, dalam hati sang guru terasa kasihan
dengannya karena tak satupun
orang yang iba kepadanya . akhirnya ia beranikan diri untuk menengok pak
Dullah
yang sakit berhari hari tanpa kabar apa yang dideritanya. Hari itu usai
sholat
Ashar ia pastikan ada keluarga di rumah itu, tanpa ragu dan iapun tidak
menghiraukan lagi pandangan orang yang tak tahu berapa jumlah mata yang
menatapnya,
seolah meraka berkata “ biarkan saja dia mati, nanti biar dikubur anak
nya
sendiri “ itulah suara meraka meskipun tak terdengar dalam telinganya
tapi ia
mendengar dalam batinnya. Sesampai di depan rumah yang berpagar tembok
kokoh
dan berdinding warna orange ia gerakkan pagar teralis rumahnya tak lama
keluarlah satu pemuda sambil berakat cetus seprtinya “ ada apa pak ?
padahal
salampun belum ia ucapkan sudah disambut dengan kalimat ya menurut orang
umumnya agak aneh, tapi tak mengapalah karena sang guru berniat baik
bukan
sekedar mau main tanpa arti. Sesampainya di depan pintu ia sampaikan “
assalamu’alaikum ? seorang ibu keluar yang sepertinya kurang berkenan
dengan
kehadirannya Dalam batin sang guru berdo’a “ ya Alloh aku ingin sekali
bertemu
dengan pak Dullah semoga pertemuan yang singkat ada makna baginya”.
Alhamdulillah ia dipersilahkan masuk di langsung melihat pak Dullah. Ia
tampak
berbaring lemas, kulit tubuhnya yang nampak keriput dan hitam telah
membalut
tubuhnya, bau kurang sedapun terasa dari ranjang tidurnya. Sesaat
kemudian salah
satu pemuda bagian dari kedua putra mengambilkan kursi plasik yang agak
usang, lalu sang guru duduk di atasnya sambil mendekati kepala pak
Dullah. Sang guru mencoba memegang
bagian tangan kananya yang tinggal tulang yang terbalut kulit, terkadang
sang
guru membisikkan dan ia letakkan mulutnya
pada telinga dan ia bisikan “ banyak beristighfar ya pak, tidak ada lagi
yang
mampu menyembuhkan selain Dia yang Maha Pemberi Kesembuhan”. Pak Dullah
terlihat gelisah ia hanya berlinang air mata yang sempat mengalir
membasahi
pipinya yang menua itu. Tak lama kemudian sang guru panggil kedua anak
nya dan
istrinya, saat itu ia hanya berpesan “ jagalah ia baik baik, jangan
tinggalkan
ia sendirian turuti apa yang menjadi keinginannya “pesan sang guru,
namun kedua anaknya dan istrinya sepertinya
tidak menaruh sedikitpun rasa sesal dan iba bahkan terkesan
membiarkanya. Lama sang
guru tak berkunjung, beberapa hari kemudian terdengar dari beberapa
tetangga
bahwa paka Dullah telah meninggal. Bergegaslah ia kesana untuk
bertakziah,
sepanjang jalan ia mengajak setiap orang yang dilaluinya akan tetapi tak
satupun menghiraukanya. Sesaat ia berjalan di sebuah kerumunan orang ia
ajak meraka “ pak takziah yok “ mereka
menjawab “ untuk apa takziah , biar berangkat sendiri saja kekuburan .
sang
guru menggelengkan kepala tapi tak ada salah mereka begitu itu, karena
itu hak
mereka.
Seampainya di rumah almarhum pak Dullah tak Nampak anak dan istri
sedih sebagaimana layaknya manusia bahkan ada yang sempat dari salah satu anaknya mau pergi entah
kemana arahnya, yang jelas tidak mau mengurus keadaan ayahnya yang telah tiada.
Bebarapa orang yang hadirpun menyiapkan sarana seadanya dari mulai untuk
memandiukan, mengkafani hingga menyolati, sepertinya tak begitu banyak yang
bertakziah, sang guru lihat yang memnadikan sekitar tujuh orang saja sementara
anak dan istrinya hanya duduk duduk di beranda depan sambil memegang alat
komunikasi, “ astaghfirullohaladzim ” …berkata
sang guru dalam batinnya. Sesaat jenazah selesai di mandikan kemudian
dibungkus dengan kain kafan seadanya, dan ada tiga bersama satu orang imam yang menyolatinya.
Seusai sholat datanglah ambulan untuk membawa jenazah, sebenarnya makam tak jauh
, mungkin karena berharta itu akhirnya di bawa ambulan. Selesailah sudah urusan
jenazah termasuk di pemakaman. Setelah itu sang guru mencoba untuk singgah kerumah ibu Dullah
mungikn ada yang disampaikan siapa tahu
untuk kelangsungan nya sesuai dengan tradisi yang berjalan di kampung. Ia
berjalan agak dipercepat takut bertemu
dengan waktu dhuhur sehingga sempat untuk berjamaah nantinya. Bebarap menit
kemudian sampailah sang guru di halaman rumah, namun ketika mendekati pintu
rumahnya terdengar keributan yang sepertinya sangat serius. Ada di antara salah
satu dari anaknya berkata keras “ pokoknya warisan saya harus lebih banyak” ibu
nya menjerit dengan sesak sambil menangis “ nak ayahmu baru saja dikubur nanti
kalau sudah seminggu atau empat puluh hari” ibu pemuda itu menyampaikan. “saya tidak mau tahu “ tukas anaknya.
Terjadilah pertengkaran yang sangat sengit dan dan berbicara yang tidak terarah lagi , tidak lagi dengan akal
sadarnya..sampai-sampai salah satu anak terdengar membenatak ibu nya “ pergi
ibu dari rumah ini kalau enggak saya bunuh nanti “. saat itu sang guru agak kebingungan
“mau masuk bagaimana, mau tinggal diam sepertinya perlu penengah dalam masalah
ini” uangkap hatinya ,akhirnya ia beranikan diri “ Assalamu’alaikum , ….tak
satupun menjawab akan tetapi pertengkaran sudah mulau surut tak lagi ada suara
keras, kemudian keluarlah seorang ibu sambil isak tangis yang ditahan dan mata
yang masih memerah karena mungkin tangisan yang tak terbendung tadi. Kemudian sang
guru beranikan diri untuk bertanya kepada ibu “ Bu bagaimana acara salanjutnya
ada acara tidak nanti malam atau hari berikutnya ? ‘ Tanya sang guru, seperinya
ibu itu masih bingung , akhirnya sang gurupun berkata lebih awal dari nya “
baiklah jika tidak ada acara lainya tidak apa, yang penting ibu dan keluarga
mendokan yang sudah meningal.
Beberapa hari kemudian salah satu dari anak nya yang lebih tua
datang dengan membawa sebingkis apa kurang faham , sepertinya gula , ia
mencurahkan isi hatinya tentang bagaimana membagi warisan setelah orang tua
tidak ada “Pak guru, bapak saya meninggalkan harta berupa kebun,
sawah,kenadaraan, rumah dan kami bersama ibu dan kakak” , tukasnya sambil
percaya diri dan tak merasa sedih apalagi merasa berdosa . “ nanti saja
dulu,sabar kalau sudah agak lama ,tanah bapak mu saja belum kering sudah
membicarakan warisan, “.kata sang guru .” Saya takut pak nanti semua di jual
oleh kakak saya . jawab pemuda . “ baiklah nanti kalian datang bersama kakak
dan ibumu kemari.
Keesokan harinya ketika waktu dhuha datanglah mereka berduyun duyun
dengan kendaraan warna putih metalik di depan rumah. Setelah berhenti kendaraan, mereka turun ada yang sedih terutama ibu
namun ada tertawa girang yaitu kedua putranya, langsung saja sang guru sambut
dan ia persilah kan masuk ke dalam gubuknya. Setelah duduk tanpa basi basi
langsung ia sampaikan kepada meraka, “ Bapak telah tiada , bapak meninggalkan
harta yang tidak sedikit, mungkin di antara kalian ada yang ingin segera
mendapat warisan apa begitu “Tanya sang guru
bener pak”,jawab salah satu dari kedua pemuda itu, baiklah, kata sang guru “ ada tiga cara
menyelsaikan warisan, yang pertama dengan cara agama , kedua dengan cara negara
dan yang ketiga dengan cara kekeluargaan, syukur hal ini dapat selesai dengan
keluargaan tanpa satu pun terlibat kecuali hanya keluarga saja” kata sang guru. “ mana yang lebih baik pak ? tanya
mereka tentu dengan cara hukum agama karena itu hokum Alloh yaitu alqur’an “.
bagaimana membaginya pak ? mereka sepertinya mendesak dan antusias. Kalau
kalian setuju dengan agama saya hitungkan sesuai dengan ilmu faroidh yang telah
ditentukan Alloh. Setelah dihitung dan bagi masing-masing harta kedua anak
tersebut tidak terima dan akhirnya pulang, keesokan harinya mereka pun datang
untuk menyelsaikan dengan cara negara, merekapun ada yang tidak terima. Seusai
magrib sang guru datang kerumah meraka dan dikupulkan di ruang tamu, ia
sampaikan panjang lebar, namun tetap mereka tidak terima dengan semua itu.
Tanpa disadari sang guru mengambil tas dan mengeluarkan sebilah pisau yang
tajam….” Berebutlah kalian dengan pisau ini siapa yang dapat itu yang mengusai”
tegas guru akhirnya mereka tertunduk terdiam , dan sang gur meninggalkan meraka
Hati
yang mati tak pernah merasa puas uurusan duniawi…….
Hati
yang mati akan selalu iri dan timbul dengki
Hati
yang mati tak mau sujud pada Illahi
Hati
yang mati hanya berangan angan menggapai duniawi
Hati
yang mati tak tergugah untuk panggilan Illahy
Hati
yang mati tak memiliki rasa peduli
Hati
yang mati tak pernah sadar bahwa dirinya akan jemput mati …….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar